“Rivals can easily copy your improvements in quality and efficiency.
But they shouldn’t be able to copy your strategic positioning –
what distiguishes your company from all the rest.”

Michael A. Porter, 1996.

Rabu, September 30, 2009

The Capability Maturity Model (CMM)

Capability Maturity Model disingkat CMM adalah model kematangan kapabilitas) adalah suatu model kematangan kemampuan (kapabilitas) proses yang dapat membantu pendefinisian dan pemahaman proses-proses suatu organisasi. Pengembangan model ini dimulai pada tahun 1986 oleh SEI (Software Engineering Institute) Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Universitas Carnegie Mellon di Pittsburgh, Amerika Serikat.
CMM awalnya ditujukan sebagai suatu alat untuk secara objektif menilai kemampuan kontraktor pemerintah untuk menangani proyek perangkat lunak yang diberikan. Walaupun berasal dari bidang pengembangan perangkat lunak, model ini dapat juga diterapkan sebagai suatu model umum yang membantu pemahaman kematangan kapabilitas proses organisasi di berbagai bidang. Misalnya rekayasa perangkat lunak, rekayasa sistem, manajemen proyek, manajemen risiko, teknologi informasi, serta manajemen sumber daya manusia.
Meskipun masih secara luas digunakan sebagai alat umum, pada bidang pengembangan perangkat lunak, CMM telah digantikan oleh CMMI (Capability Maturity Model Integration). CMM sendiri telah diganti namanya menjadi SE-CMM (Software Engineering CMM).

Capability Maturity Model (CMM) adalah suatu kerangka untuk menaksir level kedewasaan (maturity) dari pengembangan sistem informasi dari suatu organisasi serta manajemen proses dan produk. CMM terdiri dari 5 maturity level, antara lain :

- Level 1 – Initial :
Level ini hiasa disebut anarchy atau chaos. Pada pengembangan sistem ini masing – masing developer menggunakan peralatan dan metode sendiri. Berhasil atau tidaknya tergantung dari project teamnya. Project ini seringkali menemukan saat – saat krisis, kadang kelebihan budget dan di belakang rencana. Dokumen sering tersebar dan tidak konsisten dari satu project ke project lainnya.

- Level 2 – Repeatable :
Proses project management dan prakteknya telah membuat aturan tentang biaya projectnya, schedule, dan funsionalitasnya. Fokusnya adalah pada project management bukan pada pengembangan sistem. Proses pengembangan sistem selalu diikuti, tetapi akan berubah dari project ke project. Sebuah konsep upaya dibuat untuk mengulang kesuksesan project dengan lebih cepat.

- Level 3 – Defined :
Standard proses pengembangan sistem telah dibeli dan dikembangkan dan ini telah digabungkan seluruhnya dengan unit sistem informasi dari organisasi. Dari hasil penggunaan proses standard, masing – masing project akan mendapatkan hasil yang konsisten dan dokumentasi dengan kualitas yang baik dan dapat dikirim. Proses akan bersifat stabil, terprediksi, dan dapat diulang.

- Level 4 – Managed :
Tujuan yang terukur untuk kualitas dan produktivitas telah dibentuk. Perhitungan yang rinci dari standard proses pengembangan sistem dan kualitas produk secara rutin akan dikumpulkan dan disimpan dalam database. Terdapat suatu usaha untuk mengembangkan individual project management yang didasari dari data yang telah terkumpul.

- Level 5 – Optimized :
Proses pengembangan sistem yang distandardisasi akan terus dimonitor dan dikembangkan yang didasari dari perhitungan dan analisis data yang dibentuk pada level 4. Ini dapat termasuk perubahan teknologi dan praktek – praktek terbaik yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas yang diperlukan pada standard proses pengembangan sistem .

Level – level di atas mempengaruhi level – level di bawahnya.

Lantas, apa yang bisa dimanfaatkan dari penerapan CMM?
Jika melihat tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk memperoleh “predikat matang” menurut standar CMM maka suatu organisasi harus memiliki road-map dari pengembangan aplikasi softwarenya.
Road-map tersebut harus berangkat dari visi dan misi organisasi sehingga aplikasi softwarenya akan berkembang selaras dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh organisasi tersebut.
Selain dari sisi internal, CMM sendiri dapat digunakan untuk mengukur “tingkat kemapanan” sebuah organisasi yang akan direkrut sebagai kontraktor proyek-proyek kita.
Misalkan PT. X ingin mengembangkan aplikasi software ERP untuk internal perusahaannya.
Nah, PT. X kemudian mengundang PT. A, PT. B dan PT. C untuk menjadi calon kontraktor yang akan melaksanakan proses pengembangan hingga transfer pengetahuan.
Dengan menggunakan CMM maka PT. X dapat mengukur “tingkat kemapanan” dari masing-masin calon kontraktor tersebut.
Dari hasil penilaian tersebut maka dapat ditentukan perusahaan mana yang akan menjadi kontraktor berdasarkan Level menurut CMM.
PT. X tentunya akan memilih perusahaan yang sudah mencapai setidaknya Level 4 demi menjamin kesuksesan implementasi proyeknya.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai CMM maupun CMMI dapat diakses di situs-situs berikut:
http://www.sei.cmu.edu/cmmi/
http://en.wikipedia.org/wiki/Capability_Maturity_Model#Level_1_-_Ad_hoc_.28Chaotic.29
http://www.opengroup.org/architecture/togaf8-doc/arch/chap27.html
http://www.sei.cmu.edu/cmm/
http://www.sei.cmu.edu/cmm/papers/9001-cmm.pdf

3 komentar:

  1. makasih ya informasinya di antara blog yg lain kayanya yg ini lebih mendekati. hanya saja dalam beberapa materi ada level 0 : chaos. saya lihat sih hampir tidak berbeda jauh dengan level 1 : initial.

    BalasHapus
  2. makasih mas atas ilmunya ..

    izin promosi blog y mas ..
    dolvinspot.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Nice info, saya kira CMM untuk alat di QC lab pak.. hehe, btw sangat bermanfaat.

    Minta bantu kunjungannya ya di belajarmachining.blogspot.com
    trims

    BalasHapus